Jorong Galuang sebuah perkampungan di Nagari Sungai Pua, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar).
Laporan: Aulia Rahmi
Terletak di dataran rendah, Jorong Galuang berjarak sekitar 3 – 4 KM dari pusat Kota Bukittinggi atau sekitar 20 menit perjalanan menggunakan kendaraan.
Berkunjung ke Jorong Galuang dari pusat kota Bukittinggi, perjalanan akan terasa indah dan mengesankan.
Pasalnya, setelah jalan yang ramai kendaraan lalu lalang di per kotaan, perjalanan ke Jorong Galuang mata akan disejukkan dengan pemandangan hamparan sawah yang luas samping kiri dan kanan jalan.
Lalu lalang kendaraan tidak lagi terasa. Hanya 1 dan 2 kendaraan lewat melewati jalan aspal menuju Jorong Galuang ini.
Jalanan aspal yang masih mulus dengan kultur jalan yang datar ber liku-liku, menambah nyaman berkendaraan menuju ke Jorong Galuang.
Gunung Marapi dan Singgalang menjulang tinggi terlihat jelas dalam perjalanan menuju kampung yang dikelilingi persawahan ini.
Di Jorong Galuang terdapat sebuah masjid bernama Masjid Galuang. Masjid warna biru kuning ini berdiri sangat megah dan indah.
Masjid di tepi jalan di sebelahnya terdapat aliran sungai, persis posisi Masjid sedikit membelakangi Gunung Marapi dan Singgalang menjadi pusat ibadah masyarakat sekitar.
Di sebelah kanan Masjid, dilihat dari tengah jalan depan Masjid Galuang tadinya berdiri banyak bangunan rumah warga, sudah berubah menjadi datar serta menjadi aliran sungai cukup lebar.
Tumpukan puluhan kubik sampah, kayu-kayu besar serta lumpur memenuhi sepanjang jalan depan Masjid dan rumah-rumah warga lainnya.
Rumah warga berdiri kokoh hingga datar dengan tanah tersebut, merupakan dampak hujan lebat memicu banjir bandang dan lahar di Sumbar pada Sabtu malam (11/5/2024).
Rumah-rumah warga rata dengan tanah akibat bencana alam (Galodo Galuang, red) ini, hampir semuanya berada di tepi sepanjang aliran sungai kawasan itu.
Dilaporkan terdapat 7 korban jiwa, sebanyak 6 korban sudah berhasil ditemukan dan 1 korban masih dalam proses pencarian.
Warga Jorong Galuang jadi korban hantaman air sungai yang meluap ini, sebagian ada yang masih terjaga dan pula tertidur.
Bencana memang datang tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Saat kejadian tengah terjadi hujan dan hari pun sudah berganti dari siang ke malam.
Hampir semua penghuni rumah di Jorong Galuang berada di dalam rumahnya.
Di malam itu, merupakan malam yang menakutkan bagi warga. Hataman air meluluh lantahkan setiap dilalui.
Bahkan, tak tersisa sedikit pun puing-puing rumah terlihat akibat hantaman air yang membawa puluhan kubik sampah dan batang kayu itu.
Di samping Masjid, dibatasi sungai terdapat satu unit rumah dari sejumlah rumah yang hancur tak tersisa.
Di sebelah rumah telah hancur tersebut terdapat sebuah rumah masih berdiri, meski terdampak Galodo Galuang. Tapi tidak menyebabkan kerusakan parah.
Di rumah bertingkat 2 ini lah, Em (60) salah satu dari saksi mata melihat kejadian menakutkan di malam waktu kejadian, dimana rumah warga luluh lantah diterjang air.
Kak Em demikian sapaan akrab warga sekitar mencoba untuk tegar bercerita tentang peristiwa malam itu.
Suara serak dan sesekali mengusap air mata jatuh di pipinya mulai keriput ini, Em mengatakan, saat malam itu dirinya baru saja selesai shalat Isya.
“Mukena masih melekat ditubuh saya. Saat duduk di sajadah, saya merasakan dinding rumah bergetar dan terdengar aliran air sungai yang deras,” ujar Em sambil menolehkan pandangannya ke sebuah areal tanah ditumpuki sampah kayu dan sebuah rumpun kayu sangat besar.
Nenek 2 cucu tinggal di rumah beserta anak dan minatunya ini, lalu menunjukkan jarinya ke
tumpukan sampah kayu dan rumpun kayu sangat besar dan berkata bahwa tadinya di situ terdapat sebuah rumah.
“Di situlah rumah saudara saya. Rumah yang bersebelahan dengan rumah saya ini, sudah tak tersisa puing-puingnya setelah dihantam air,” ungkapnya dengan suara pelan.
Em kembali mencoba mengulangi cerita di malam naas itu.
Kata Em, saat dirinya mendengar suara air deras, ia berada di lantai dua bangunan rumahnya, lalu berdiri dari duduknya dan menuju jendela rumah untuk melihat apa yang terjadi.
“Saat saya melihat ke jendela, rumah saudara saya di sebelah rumah saya tidak ada lagi. Begitu juga rumah-rumah warga lain yang berada di tepi aliran sungai,” tutur Em dengan mata memerah.
Em mengaku saat peristiwa terjadi, dirinya masih dalam ke adaan sadar.
“Dinding rumah bergerak-gerak, saya takut ada ular. Saat saya lihat ke jendela, rumah saudara saya yang hancur tersebut, ditumpuki sampah kayu dan rumpun kayu,” tuturnya.
Aliran deras air yang terus mengalir itu, Em mengaku sedikit takut, karena tumpukan sampah kayu dan rumpun kayu berukuran sangat besar terus diterjang air.
“Sampah kayu dan rumpun kayu tersebut membentur ke diding rumah saya, lantaran terampung-apung di air,” paparnya.
Em mengaku tidak menyangka bencana menimpa daerahnya.
“Syukur Alhamdulillah, kami selamat dari bencana itu. Padahal air sudah cukup tinggi mencapai diding rumah,” ucapnya.
Bencana banjir terjadi Sumbar tersebut meliputi Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang.
Untuk Kabupaten Agam, hujan deras bahkan menyebabkan air sungai yang berhulu di Gunung Marapi meluap.
Akibatnya tercipta aliran di jalur baru, yang membawa batu-batu besar dari gunung berapi ke permukiman warga di sekitarnya. (*)