Jelang HUT PMI ke 78, Ketua PMI Bukittinggi: Bagaimana PMI di Indonesia, Bukittinggi Khususnya?

BUKITTINGGI — Keberadaan Palang Merah Indonesia (PMI) selalu memunculkan hal-hal positif di benak kalangan yang telah mengenal baik PMI dan tugas-tugas kemanusiaannya. Masih relevankah keberadaan PMI di Indonesia yang demokratis dan nihil konflik yang dapat menjustifikasi penerapan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Alex JR (redaksi) mewawancarai H. Chairunnas, ketua PMI Bukittinggi, untuk menggali relevansi keberadaan organisasinya di Indonesia, Bukittinggi tentunya. Berikut ini adalah petikan wawancaranya.

Alex JR : Sudah berapa lama PMI di Indonesia?

H. Chairunnas : Tepat pada tanggal 17 September 1945 terbentuklah Pengurus Besar Palang Merah Indonesia (PMI) dengan ketua pertama nya Dr. Drs. Mohammad Hatta. Jadi hingga kini sudah 78 tahun PMI di negara ini.

Alex JR : Lalu kenapa PMI ada di Indonesia?

H. Chairunnas : Adapun tugas utama PMI berdasarkan Keppres RIS no 25 tahun 1950 dan Keppres RI no 246 tahun 1963 adalah untuk memberikan bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sesuai dengan isi Konferensi Jenewa 1949.

Alex JR : Konkretnya bagaimana?

H. Chairunnas : Sejarahnya, dimulai pada tanggal 21 Oktober 1873. Waktu itu Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan organisasi Palang Merah di Indonesia dengan nama Het Nederland-Indiche Rode Kruis (NIRK) yang kemudian disebut menjadi Nederlands Lode Kruiz Agdelinbg Indie (NERKAI).

Kemudian rentang waktu 1932 hingga 1940, timbul semangat untuk mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) yang kala itu dipelopori oleh dr. LCR. Senduk dan Bahder Johan. Kemudian, usulan pendiriannya diangkat pada kongres NERKAI (1940), namun ditolak. Pada saat penjajahan Jepang, usulan itu dikembalikan, namun tetap ditolak.

Kemudian lagi, pada tanggal 3 September 1945 presiden Sukarno memerintahkan pada Mentri Kesehatan RI dr. Buntaran Martoadmodjo untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan negara Indonesia adalah suatu fakta nyata setelah diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tak pelak, pada tanggal 5 September 1945, dr. Buntaran membentuk panitia lima yang terdiri dari dr. R.Mochtar, dr. Bahder Johan, dr. Joehana, Dr. Marjuki dan dr. Sitanala, untuk mempersiapkan pembukaan Palang Merah di Indonesia.

Untuk diketahui, Dr.Drs. H. Mohammad Hatta adalah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan indonesia, pahlawan nasional, negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia juga didapuk sebagai ketua PMI pertama kala itu.

Bapak Dr. Drs. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi – Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat (1949 – 1950).

Alex JR : Apakah kendala organisasi anda di Indonesia?

H. Chairunnas: Lima tahun berselang, pada tanggal 16 Januari 1950. Kebijakan Pemerintah menyatakan bahwa di dalam satu negara hanya ada satu perhimpunan nasional. Maka Pemerintah Belanda membutuhkan NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Johan.

Dan pada tahun 1950 hingga 1963. PMI terus memberikan bantuan, hingga akhirnya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Keppres no 25 tanggal 16 Januari 1950 dan diperkuat dengan Keppres no 246 tanggal 29 November 1963. Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan PMI secara nasional kala itu .

Seiring berjalannya waktu, tepat pada tanggal 15 Juni 1950. Secara Internasional, keberadaan PMI diakui oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC).

Setelah itu, PMI diterima menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (liga) yang sekarang disebut Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFCR) pada bulan Oktober tahun itu.

*Bukittinggi*

Alex JR: Bukti Otentik Sejarah Singkat PMI di Kota Bukittinggi sendiri?

H. Chairunnas: Nah..!! PMI di Kota Bukittinggi berdiri pada tanggal 5 Oktober 1977 yang berfungsi untuk kegiatan Unit Donor Darah (UDD), sedangkan untuk kegiatan penanggulangan bencana, PMI kota Bukittinggi telah aktif sejak tahun 1987 pada saat terjadinya tanah longsor di Bukit Tui kota Padang Panjang. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan tanggap darurat bencana gempa bumi di Kerinci Provinsi Jambi, gempa bumi di Gunung Rajo di Kabupaten Tanah Datar, Tsunami di Provinsi Aceh, banjir bandang di Malalak Kabupaten Agam, serta penanggulangan bencana lainnya.

Kita tetap bekerjasama dengan pemerintah karena demokrasi telah terbangun di Indonesia, meskipun institusi-institusi yang ada bisa mengatasi sendiri sebagian besar persoalannya.

Setelah pemerintah mengatasi berbagai persoalan yang terjadi, PMI harus menyesuaikan perannya sejalan dengan evolusi situasi kemanusiaan, melalui peningkatan kerja sama dengan mitra-mitra kerja terkait lainnya dalam berbagai lembaga pemerintah.

Alex JR: Anda tadi mengatakan bahwa demokrasi telah terbangun di Indonesia, dimana institusi-institusi yang ada bisa mengatasi sendiri sebagian besar persoalan. Contohnya penanganan bencana di Bukit Tui, gempa kerinci, gunung rajo dan sebagainya. Kenapa anda merasa PMI bisa memberikan kontribusi disini?

H. Chairunnas: Ini pertanyaan penting, seiring berjalannya waktu, kegiatan tanggap darurat bencana, PMI kota Bukittinggi semakin lama semakin tidak kelihatan kiprah dan gaungnya, hal ini disebabkan minim dengan pendanaan.

Alex JR: Apa yang anda harapkan dari pemerintah di sini untuk memfasilitasi pekerjaan anda?

H. Chairunnas: Untuk kegiatan Transfusi darah, PMI kota Bukittinggi menempati bangunan masih bentuk lama. Markas PMI kota Bukittinggi yang terletak kini di jalan A. Rifai berdekatan dengan Rumah Sakit Ahmad Muchtar (RSAM), mempunyai bukti otentik sejarah yang tidak dapat dilupakan. Pasalnya bangunan yang dipakai untuk kegiatan Markas dan UDD sekarang adalah bangunan lama, yang diresmikan pada tahun 1977.

Kepala PMI/DTD Syahrial Leman adalah yang pertama dan yang kedua adalah ibu Martalena istri dari Mayor CKM Dr Johanas Johan Abdullah, yang pada periode itu sebagai Komandan Batalion CTP Dan Dankesrem Wirabraja, keduanya telah almarhum, dan almarhum adalah orang tua dari Dr. Firman Abdullah SpOG yang kini masih hidup.

Gedung DTD/PMI kota Bukittinggi sendiri dibangun secara swadaya oleh para Corp Tentara Pelajar pada periode itu dan dikoordinir oleh periode kala itu, Komandan Batalion CTP Mayor CKM Dr. Johanas Johan Abdullah yang pada waktu itu menjabat sebagai Dan Dankesrem Wirabraja.

Gedung dibangun dan diberi nama “Syahrial Leman” dengan panggilan populernya (si Ambo) sebagai kenangan atas Komandan Divisi CTP Sumatera Barat, hingga sampai kini Untuk Donor Darah (UDD) PMI Kota Bukittinggi bernama “Syahrial Leman”.

Hingga sekarang Bangunan gedung tersebut terbagi dua, satu sisi digunakan untuk kegiatan UDD dan satu sisi lagi digunakan untuk markas PMI Kota Bukittinggi, tempat berkumpul relawan dan administrasi PMI Kota Bukittinggi.

Untuk saat ini kegiatan markas bergerak di bidang kebencanaan, pelayanan dan sosial kemanusiaan lainnya, semua itu berjalan tidak terlepas dari dukungan pihak Pemerintah, kearifan serta pengurus, kepala markas serta staf dan sukarelawan. Jadi kita menginginkan untuk peremajaan atau bangunan baru tanpa menghilangkan otentik bangunan.

Alex JR: Terakhir, apakah anda optimis itu akan terwujud?

H. Chairunnas: Kenapa tidak..!! Merujuk kepada Penyelenggaraan Kepalangmerahan di Indonesia.

Pada Tanggal 9 Januari 2018. Lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.

UU Kepalangmerahan telah diundangkan oleh pemerintah. UUK ini menjadi instrumen hukum yang penting bagi Indonesia, terutama dalam melaksanakan kegiatan Kepalangmerahan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun intenasional.

Berdasarkan UU tersebut, yang dimaksud dengan Kepalangmerahan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan, lambang palang merah, atau hal lain yang diatur berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949.

Kepalangmerahan mengatur 3 (tiga) hal penting yaitu; penyelenggaraan Kepalangmerahan, penggunaan Lambang sesuai dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia.

UU Kepalangmerahan menyatakan bahwa penyelenggara Kepalangmerahan adalah Pemerintah dan PMI. Pengaturan hal tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena mereka akan lebih cepat di dalam menerima bantuan pada saat terjadi bencana/konflik, berdasarkan UU Kepalangmerahan.

Manfaat dimaksud diantaranya; (1) Penyelenggara Kepalangmerahan mempunyai keleluasaan akses dalam semua situasi dan (2) Penyelenggara Kepalangmerahan (khususnya PMI) mempunyai kekuatan hukum yang jelas, sehingga kegiatannya aman dan terlindungi.

Sebagai bagian dari Penyelenggara Kepalangmerahan dan Perhimpunan Nasional Kepalangmerahan di Indonesia, PMI merupakan salah satu anggota dari komponen Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. PMI bekerja atas asas perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membeda-bedakan bangsa, golongan, dan paham politik.

UU Kepalangmerahan juga menegaskan bahwa, meskipun PMI merupakan perhimpunan nasional yang diakui resmi oleh Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan, organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya tetap dapat menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *