Udara pagi, Selasa (19/11/2024), sekitar pukul 06.10 WIB, masih terasa dingin. Cuaca sedikit mendung. Lalu lalang kendaraan melintasi jalan di kawasan Belakang Balok, Kota Bukittinggi belum lah ramai.
Seorang pria tua tidak terlalu tinggi, memakai sepatu boot warna coklat muda terlihat menyisiri pinggir jalan raya di kawasan itu.
Seragam orenge ia pakai mulai memudar. Sapu lidi ia pegang di tangan kanannya. Langkahnya pelan dan mata selalu di arahkan melihat ke bagian bawah jalan.
Dedaunan dari pohon pelindung jalan yang gugur disapunya hingga terkumpul tidak lagi berserakan. Pekerjaan itu ia jalani mulai dari Simpang Yarsi, Jl Sudirman hingga ruas jalan dekat rumah Dinas Wali Kota Bukittinggi.
“Awal tahun 2025, wak ndak masuk kerja lai doh (awal tahun 2025 saya tidak masuk kerja lagi). Takdir memisahan awak dengan karajo karano umua alah 58 tahun (takdir memisahkan saya dengan pekerjaan karena sudah berumur 58 tahun),” ujar Efison memulai pembicaraan.
Efison bercerita, bekerja sebagai pemungut sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bukittinggi dimulai sejak 1997, sewaktu masih memiliki 2 orang anak.
“Awal mula kerja tahun 1997 digaji sekitar Rp400 ribuan. Waktu itu ikut mobil sampah. Bagian pekerjaan memungut sampah untuk dinaikkan ke dalam truk guna dibawa ke TPA,” tuturnya.
Ceritanya lagi, setelah cukup lama ikut mobil truk sampah dan pascadiangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tahun 2009, kehidupan ekonomi keluarga mulai berangsur membaik.
Diangkat jadi ASN golongan D dengan ijazah tamatan Sekolah Dasar (SD). Pria berkumis tipis tinggal di daerah Batagak, Kabupaten Agam ini mengaku sebagai ASN digaji lumayan besar.
“Untuk posisi sekarang, gaji per bulan sekitar Rp3.5 juta belum masuk tunjangan dan lembur,” sebutnya.
Efison mengaku bersyukur atas gaji yang diterimanya setiap bulan. Karena dengan gajinya sebagai ASN dirinya mampu menghidupi 6 orang anak hasil pernikahan dengan sang istri. Bahkan berhasil menguliahkan anaknya hingga menjadi sarjana.
Kini sebut Efison sambil memungut sampah untuk dimasukkan ke dalam gerobak sampah warna biru tersebut, anak-anak sudah tumbuh dewasa.
“Anak saya tiga pasang tiga perempuan dan tiga laki-laki. Paling kecil laki-laki sudah tamat SMA. Sementara 4 lagi sudah menikah,” ucapnya.
Bekerja sebagai pemungut sampah di jalanan, mungkin sebagian orang merupakan perkerjaan kurang beruntung, bagi Efison pekerjaan tersebut merupakah sebuah anugrah yang sangat ia syukuri.
“Alahamhulillah, dengan SK diterima sebagai ASN saya dapat mengajukan pinjaman ke Bank. Uang hasil pinjaman dipergunakan untuk memperbaiki rumah dan biaya pernikahan anak-anak,” sebutnya.
Efison mengaku tidak mudah bekerja sebagai pemungut sampah. Banyak suka duka yang ia rasakan.
Ia sering dikejutkan oleh warga yang lewat dengan membuang sampah ke gerobaknya dengan cara dilempar.
“Saya sering terkejut dengan prilaku oknum orang-orang lewat dengan kendaraannya lalu melemparkan sampah ke dalam gerobak saya. Karena mengumpulkan sampah adalah pekerjaan saya, terpaksa saya urut dada aja,” tuturnya.
“Enaknya juga saya alami bekerja sebagai pemungut sampah di jalanan, yaitu ada orang-orang baik memberi uang puluhan ribu rupiah ketika sampahnya dibuang ke gerobak saya,” katanya tersenyum.
Menurut Efison, sekarang usianya sudah 58 tahun akan masuk masa pensiun.
“Saya kelahiran 1966. Bulan Januari 2025 tidak lagi bekerja. Alhamdulillah pinjaman di Bank telah lunas sejak tahun 2016. Mudah-mudahan gaji pensiun mencukupi untuk biaya hidup di hari tua nanti,” paparnya. (aul)