MENGAPA SKILL ADAPTIF JADI KUNCI MASA DEPAN MAHASISWA

Jika dulu ijazah sarjana dianggap tiket emas menuju kesuksesan, kini realitas berkata lain. Gelar akademik tanpa keterampilan adaptif hanya akan menjadi kertas yang mudah terpinggirkan oleh tuntutan industri.

Oleh: Ariqa Luthfiya (Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Andalas, Kampus II Payakumbuh)

“Gelar sarjana” kerap dipandang sebagai tiket emas menuju pekerjaan layak. Namun kenyataannya, data terbaru menunjukkan hal sebaliknya.

Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka nasional mencapai 4,76% atau 7,28 juta orang.

Dari jumlah itu, lebih dari satu juta justru merupakan lulusan perguruan tinggi. Angka ini menandakan bahwa ijazah saja tidak lagi cukup untuk menjamin masa depan.

Salah satu penyebab tingginya angka pengangguran terdidik adalah ketidaksesuaian antara kemampuan lulusan dengan kebutuhan nyata di industri.

Banyak mahasiswa unggul secara teoritis, tetapi belum terlatih menghadapi dinamika kerja yang menuntut fleksibilitas, inovasi, dan keterampilan praktis.

Fenomena inilah yang menyoroti pentingnya skill adaptif, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi, situasi, dan tuntutan pasar.

Di era industri 4.0 menuju society 5.0, kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh lebih dari sekadar kompetensi akademik. Otomasi, kecerdasan buatan, big data, dan digitalisasi telah mengubah wajah pekerjaan.

Profesi tradisional banyak yang tergantikan mesin, sementara profesi baru berbasis teknologi justru bermunculan.

Mereka yang tidak memiliki kemampuan reskilling dan upskilling akan sulit berkompetisi, meski berstatus sarjana.

Kondisi ini diperburuk dengan fakta bahwa Indonesia masih menghadapi kesenjangan keterampilan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika memperkirakan kebutuhan talenta digital nasional mencapai 9 juta orang hingga 2030, atau sekitar 600 ribu per tahun.

Ironisnya, pasokan lulusan dengan kompetensi digital mumpuni masih terbatas. Jika perguruan tinggi tidak segera menyesuaikan diri, peluang besar itu justru diisi oleh tenaga kerja asing.

Skill adaptif menjadi jawaban atas tantangan ini. Kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, literasi digital, kreativitas, hingga kepemimpinan fleksibel kini menjadi modal utama dalam dunia kerja modern.

Baca Juga:  Kenapa Advokat Terkesan Banyak dari Suku Batak

Perusahaan tidak lagi hanya mencari kandidat dengan IPK tinggi, melainkan lulusan yang mampu menghadapi tantangan yang belum pernah ada sebelumnya.

Dengan kata lain, ijazah hanyalah pintu masuk, sementara keterampilan adaptif adalah kunci untuk bertahan dan tumbuh.

Perguruan tinggi harus bergerak cepat untuk memperkecil kesenjangan dengan dunia industri. Kurikulum berbasis proyek, program magang, hingga pelatihan sertifikasi industri harus diperluas.

Kolaborasi dengan sektor swasta juga penting, baik melalui dosen tamu, program riset terapan, maupun inkubator bisnis kampus.

Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengenal langsung dinamika kerja.

Namun tanggung jawab tidak berhenti di institusi pendidikan. Mahasiswa sendiri harus aktif mengembangkan diri. Kursus daring, bootcamp, hingga komunitas kreatif bisa menjadi wadah untuk memperkaya kemampuan.

Akses terhadap platform pembelajaran digital seperti Coursera, Dicoding, atau Kampus Merdeka harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (lifelong learning) menjadi keharusan, bukan sekadar pilihan.

Pemerintah pun memegang peran strategis. Insentif bagi industri yang mau bermitra dengan kampus, subsidi biaya pelatihan, hingga standarisasi sertifikasi kompetensi nasional akan mempercepat transformasi tenaga kerja.

Tanpa intervensi serius, bonus demografi yang dimiliki Indonesia justru berisiko berubah menjadi beban demografi akibat ledakan pengangguran terdidik.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi mahasiswa hari ini bukan lagi sekadar meraih gelar, tetapi bagaimana menjadikan diri adaptif terhadap perubahan.

Ijazah tetap penting sebagai pengakuan akademik, tetapi kemampuan untuk terus belajar, berinovasi, dan menyesuaikan diri jauh lebih menentukan.

Dengan skill adaptif, generasi muda tidak hanya siap masuk ke dunia kerja, tetapi juga mampu menciptakan peluang baru di tengah ketidakpastian ekonomi. (*)

Related Posts