BUKITTINGGI – Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang jatuh setiap 9 September bukanlah sekadar seremoni belaka. Hari ini momentum untuk kembali merenungi hakikat olahraga sebagai perekat bangsa kembali teringat.
Di jantung Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, berdiri sebuah stadion yang menyimpan cerita panjang tentang gairah olahraga, Stadion Ateh Ngarai.
Lapangan hijau yang dikelilingi panorama alam Bukittinggi ini bukan hanya tempat bola bergulir, tetapi juga ruang lahirnya mimpi dan persahabatan bagi generasi muda Rang Kurai.
Jejak Awal di Stadion Ateh Ngarai
Saya masih ingat betul, tahun 1997 adalah pertama kalinya kaki ini menapak di Stadion Ateh Ngarai. Saat itu, baru saja tamat sekolah dasar.
Bersama beberapa kawan, kami berjalan kaki sekitar tiga kilometer dari Mandiangin, tanah kelahiran proklamator Bung Hatta, demi mendaftar sebagai murid di Sekolah Sepak Bola Hendri Susilo (SSB-HS).
Tak lama berselang, SSB kami sudah merasakan atmosfer kompetisi. Kami membela tim yunior PSKB (Persatuan Sepakbola Kotamadya Bukittinggi) dalam ajang Haornas di Sijunjung.
Hasilnya memang kekalahan, tetapi pengalaman itu begitu berkesan karena kami didampingi oleh sosok-sosok besar asal Bukittinggi yang pernah menjadi pilar Timnas Indonesia: Gusnedi Adang, Hendri Susilo, dan Lukit Asmara.
Pertandingan yang Tak Terlupakan
Atmosfer stadion semakin melekat di hati ketika saya menyaksikan laga PSKB melawan Semen Padang FC di Ateh Ngarai. Meski PSKB kalah tipis 1–2, euforia dan sorakan penonton membuat saya jatuh cinta pada dunia stadion.
Sejak saat itu, saya seperti “kecanduan” menonton langsung. Bahkan rela bolos mengaji di Madrasah Diniyah Awaliyah Syukra hanya demi hadir di tribun.
Pertandingan biasanya dimulai pukul 15.30, tepat bertabrakan dengan jam belajar mengaji dari pukul 14.00 hingga 17.00. Hingga kini, keluarga saya tak pernah tahu alasan absensi sore itu, biarlah menjadi rahasia kecil yang manis.
Puncak pengalaman tak terlupakan lainnya adalah ketika saya hadir di Stadion Haji Agus Salim, Padang, menyaksikan laga uji coba Timnas Indonesia melawan Semen Padang pada tahun 1999.
Saat itu, Tim Garuda masih diarsiteki pelatih asal Jerman, Bernard Schumm, dengan deretan pemain muda yang kelak jadi bintang nasional: Gusnedi Adang, Yeyen Tumena, hingga Bambang Pamungkas yang kala itu masih belia.
Dari Ateh Ngarai ke Stadion Rumbai
Perjalanan saya bersama sepak bola berlanjut ke Pekanbaru ketika melanjutkan sekolah di sana.
Di Stadion Rumbai, markas PSPS Pekanbaru, atmosfernya tak kalah menggairahkan. Tak hanya menjadi penonton, saya juga berkesempatan merumput bersama klub-klub lokal.
Namun, cedera di kaki kiri memaksa saya menutup karier bermain di usia 24 tahun. Meski begitu, api semangat itu tetap menyala. Ingatan saya selalu kembali pada awal mula perjalanan, di Stadion Ateh Ngarai, tempat segalanya bermula.
Lebih dari Sekadar Stadion
Bagi masyarakat Bukittinggi, Stadion Ateh Ngarai adalah ruang sejarah dan kebanggaan. Dari sinilah banyak talenta lahir, membawa nama Bukittinggi ke kancah nasional. Stadion ini adalah ruang publik, tempat anak-anak tumbuh dengan mimpi, dan masyarakat meneguhkan ikatan lewat olahraga.
Bagi saya pribadi, Ateh Ngarai adalah guru kehidupan. Ia mengajarkan arti perjuangan, kegembiraan, hingga pengorbanan kecil yang manis, dari berjalan kaki sejauh tiga kilometer, bolos mengaji, sampai berteriak lantang mendukung PSKB di tengah sorak-sorai penonton.
Sepak bola memang bukan sekadar permainan. Di Bukittinggi, khususnya di Stadion Ateh Ngarai, sepak bola adalah bagian dari hidup, bagian dari jiwa Rang Kurai.
By: Alex Armanca.Jr
(Bukittinggi, 10/09/1981)