Untuk mencapai puncak, memang sering harus melewati jalan terjal, katanya begitu. Tapi lucunya, setelah sampai puncak, baru dikritik sedikit, sudah goyah.
Baru disentil kebijakan, tim suksesnya yang dulu paling vokal malah sekarang paling baper.
Waktu kampanye, suaranya paling kencang. Jargon-jargon perubahan ditebar di media sosial seperti hujan di musim Pilkada. Kritik ke lawan nggak pakai rem, bahkan hoaks pun dianggap bagian dari strategi.
Tapi begitu calonnya sudah duduk di kursi kekuasaan, baru dikritik sedikit saja langsung ngambek.
Jangan-jangan sekarang sibuk AMAT (Ambil Muka, Angkat Telor) demi dapat proyek.
Padahal, pemerintah itu bukan panggung pujian. Apalagi kalau sudah duduk di kursi kekuasaan, seharusnya siap dikritik, bukan malah minta dielus terus. Kalau cuma mau dipuji, itu bukan pemimpin, itu selebgram.
Lebih aneh lagi, tapi yang ribut justru tim suksesnya. Dulu waktu kampanye, bilang pemimpin ini akan terbuka pada masukan, siap dikritik demi perbaikan. Tapi giliran masyarakat menyampaikan pendapat, langsung main tuding: “Kalian kan kalah, makanya ribut!”
Lho, pemimpin itu milik semua rakyat, bukan cuma milik kalian yang dulu dikasih uang buat antar kalender, 50 cuma diantar 10, sisanya entah ke mana, mungkin nyasar ke tong sampah atau berenang dalam bandarbandar irigasi.
Yang milih boleh beda, tapi yang merasakan dampak kebijakan itu seluruh warga. Masa setiap kritik selalu dianggap sakit hati karena kalah?
Jangan-jangan, yang sebenarnya belum move on… justru kalian.