Pemerintah Daerah, khususnya di Kabupaten Agam, perlu menyadari bahwa merawat jalan bukan sekadar urusan teknis. Ini soal tanggung jawab hukum, keselamatan warga, dan wibawa negara. Ketika lubang-lubang jalan dibiarkan terbuka tanpa rambu peringatan, bukan hanya nyawa yang terancam, kepercayaan publik pun bisa hancur.
Oleh : ANIZUR, SH
Saya sering mendengar keluhan masyarakat tentang rusaknya ruas jalan kabupaten, bahkan melihat langsung akibatnya, kendaraan tergelincir, pengendara terluka, hingga nyawa melayang.
Dalam banyak kasus, korban tidak tahu bahwa mereka sebenarnya berhak menuntut secara hukum. Padahal, ada dasar kuat dalam Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di sana jelas disebutkan bahwa penyelenggara jalan yang lalai memperbaiki kerusakan bisa dijerat pidana, apalagi jika menyebabkan kecelakaan.
Bila luka ringan, sanksinya penjara maksimal 6 bulan atau denda hingga Rp12 juta. Luka berat? Hukumannya bisa naik jadi 1 tahun atau denda Rp24 juta. Dan jika sampai menimbulkan kematian, ancaman hukumannya berat: 5 tahun penjara atau denda Rp120 juta.
Ini bukan teori hukum yang mengawang-awang. Ini nyata, dan sudah seharusnya menjadi peringatan serius bagi Dinas PUTR Agam dan instansi terkait. Pemasangan rambu di titik-titik rawan adalah langkah minimum. Jangan tunggu anggaran “cukup”, karena keselamatan tak bisa ditunda.
Saya paham, anggaran daerah terbatas. Tapi jika harus memilih antara membangun jalan baru atau merawat yang sudah ada, bukankah lebih bijak menjaga dulu yang sudah dimiliki?