Oleh karena itu, Silvia mengajak masyarakat untuk bersama-sama melestarikan cagar budaya dengan mengenal dan mengunjungi kawasan-kawasan cagar budaya di Kota Bukittinggi.
Sejarah Bukittinggi Tempo Dulu:
Bukittinggi memiliki peran penting dalam sejarah ketatanegaraan semenjak zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sumatera Tengah dan bahkan Sumatera secara keseluruhan. Setelah Yogyakarta diduduki Belanda pada Desember 1948, Bukittinggi berperan sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia hingga Juni 1949.
Pada masa pemerintahan Belanda, Bukittinggi dikembangkan perannya dalam ketatanegaraan sejak didirikan sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Belanda mendirikan kubu pertahanan tahun 1825 yang dikenal dengan Benteng “Fort De Kock”, yang juga digunakan sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir di wilayah jajahan timur.
Selama pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan pusat pengendalian pemerintah militer untuk kawasan Sumatera, bahkan hingga Singapura dan Thailand. Bukittinggi saat itu berganti nama menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho dengan wilayah yang diperluas, termasuk beberapa nagari yang kini berada di Kabupaten Agam. Jepang juga mendirikan pemancar radio terbesar untuk Sumatera di Bukittinggi.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Desember 1948 hingga Juni 1949. Selanjutnya, Bukittinggi menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. Tengku Muhammad Hasan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibu kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.